1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialThailand

Thailand Semakin Dekat Izinkan Pernikahan Sesama Jenis

20 Desember 2023

Kabinet Thailand menyetujui rancangan undang-undang kesetaraan pernikahan, sehingga membuka jalan bagi parlemen negara itu untuk mempertimbangkan rancangan undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis.

https://p.dw.com/p/4aN04
Foto ilustrasi "Pride Parade"
Kaum LGBTQ+ Thailand menantikan pengesahan RUU kesetaraan pernikahan oleh parlemenFoto: Iulianna Est/Zoonar/picture alliance

Di sebuah toko pakaian di Siam Square Bangkok, pusat komersial di ibu kota Thailand, pasangan yang berbahagia ini melihat-lihat pakaian sembari mereka mendiskusikan tentang pernikahan. Naphat, seorang pria transgender, dan Rasithaya, seorang perempuan, ingin meresmikan hubungan mereka di tengah upaya parlemen yang akan memperdebatkan rancangan undang-undang akhir sebelum disahkan menjadi undang-undang yang mengizinkan anggota komunitas LGBTQ + untuk menikah.

RUU tersebut bertujuan untuk mengubah Hukum Perdata dan Hukum Dagang, mengubah kata "pria dan perempuan" dan "suami dan istri" menjadi "individu" dan "pasangan pernikahan".

Perdana Menteri (PM) Srettha Thavisin mengatakan kepada para wartawan pada Selasa (19/12) setelah pertemuan kabinet bahwa mereka akan memberikan pasangan LGBTQ+ "hak-hak yang sama persis" dengan pasangan heteroseksual. Hal ini akan menjadikan Thailand sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mengesahkan undang-undang semacam itu dan negara ketiga di Asia, setelah Taiwan dan Nepal.

Naphat atau "Jim", panggilan akrabnya, mengatakan bahwa ia dan Rasithaya berencana untuk mendaftarkan pernikahan mereka segera setelah hukum mengizinkannya. Sebagai seorang advokat hak-hak trans, Naphat mengatakan kepada AP, perubahan yang diantisipasi itu bukan sekadar formalitas. Surat nikah akan memungkinkan pasangan LGBTQ+ untuk mendapatkan berbagai keuntungan, termasuk layanan kesehatan dan hak waris, yang selama ini tidak mereka dapatkan.

"Ini sangat berarti. Ini adalah tahun kedelapan dari hubungan kami. Namun, status kami tidak diakui secara hukum," katanya. "Ketika salah satu dari kami sakit atau mengalami keadaan darurat, kami tidak dapat merawat satu sama lain dengan baik. Jadi ini sangat penting bagi kami."

Thailand dan komunitas LGBTQ+

Thailand memiliki reputasi global dalam hal penerimaan dan inklusivitas. Pada bulan Juni lalu, Bangkok mengadakan "Pride Parade" tahunannya yang dihadiri puluhan ribu orang. PM Srettha mengatakan bahwa ia mendukung upaya Thailand untuk menjadi tuan rumah World Pride pada 2028.

Namun, begitu kerumunan orang menghilang dan musik berhenti, realitas hidup sebagai LGBTQ+ di Thailand mungkin tidak secerah yang terlihat.

"Saya pikir apa yang dilihat orang asing bukanlah kenyataan yang sebenarnya," kata Nattipong Boonpuang, seorang peramal dan model berusia 32 tahun. "Orang-orang sebenarnya tidak seterbuka yang mereka kira," katanya, seraya menambahkan bahwa mereka terkadang menerima komentar negatif baik dalam kehidupan nyata maupun online.

Nattipong juga merupakan anggota dari Paduan Suara Pria Gay Bangkok yang didirikan sekitar setahun yang lalu. Selain kecintaan pada musik, misi paduan suara ini adalah untuk mengadvokasi penerimaan yang lebih besar terhadap orang-orang LGBTQ+ di Thailand, menurut pemimpin paduan suara, Vitaya Saeng-Aroon.

"Kami tidak menginginkan hak istimewa. Orang-orang salah paham bahwa kami meminta perlakuan khusus. Komunitas kami hanya menginginkan perlakuan yang adil, setiap hari," katanya.

UU kesetaraan pernikahan

Thailand telah berjuang keras untuk mengesahkan undang-undang kesetaraan pernikahan.

Tahun lalu, anggota parlemen memperdebatkan beberapa amandemen hukum untuk mengizinkan kesetaraan pernikahan atau serikat pekerja sipil, yang tidak memberikan pasangan LGBTQ+ semua hak yang sama dengan pasangan heteroseksual. Tak satu pun dari rancangan undang-undang yang diusulkan disahkan sebelum parlemen dibubarkan untuk pemilihan umum.

Namun, tahun ini, Vitaya mengatakan bahwa segala sesuatunya terlihat lebih menjanjikan dengan adanya rancangan undang-undang baru yang "sangat progresif". Ia berharap RUU tersebut akan disetujui sehingga hak-hak komunitas LGBTQ+ akhirnya diakui oleh hukum.

Pada pemilihan umum bulan Mei lalu, kesetaraan pernikahan menjadi topik hangat baik bagi partai yang berkuasa, Pheu Thai, maupun partai oposisi, Move Forward.

RUU terbaru ini tampaknya mendapat dukungan umum. Namun, masih perlu diperdebatkan beberapa kali di parlemen sebelum disahkan. Setelah disahkan, Raja Thailand Maha Vajiralongkorn akan mengesahkannya menjadi undang-undang.

Pemerintah mengatakan bahwa langkah selanjutnya mungkin adalah amandemen undang-undang dana pensiun untuk mengakui semua pasangan.

Perubahan ini mungkin sangat berarti bagi mereka yang terkena dampaknya, tetapi tidak bagi seluruh masyarakat Thailand, menurut seorang analis. Sikap terhadap pernikahan telah berubah, kata Khemthong Tonsakulrungruang, seorang dosen hukum di Universitas Chulalongkorn Bangkok, dan hukum hanya mengejar ketertinggalan.

"Sudah ada pernikahan budaya, ini tidak legal, tetapi ada upacara budaya, upacara keagamaan di antara kaum LGBT," katanya. "Kadang-kadang menjadi berita utama, tetapi sudah semakin umum bagi dua orang, apa pun jenis kelaminnya, untuk menikah. Jadi, hal ini mencerminkan perubahan yang telah terjadi di sini... selama bertahun-tahun."

ha/rs (AP)