1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikIsrael

Natal yang Muram di Betlehem Akibat Perang Israel-Hamas

Tania Krämer
25 Desember 2023

Kota Betlehem yang merupakan tempat kelahiran Yesus Kristus biasanya ramai selama momen Natal. Namun, tahun ini sebagian besar perayaan dibatalkan akibat perang Israel-Hamas.

https://p.dw.com/p/4aYA7
Bagian dalam Gereja Kelahiran di Betlehem di Tepi Barat  yang terlihat kosong selama musim Natal tahun 2023
Selama musim Natal tahun 2023, Gereja Kelahiran di Betlehem di Tepi Barat sepi dari pengunjungFoto: Tania Krämer/DW

Prosesi Natal tahun ini di Betlehem jauh lebih kecil dari biasanya. Para pemimpin gereja memutuskan untuk membatalkan dekorasi dan perayaan karena perang Israel dan Hamas.

Seorang guru Bahasa Inggris di Beit Sahour, Nuha Tarazi, menyebut penantian Natal selalu menjadi hal yang paling menyenangkan. Namun, tahun ini menjadi berbeda, tidak ada dekorasi Natal di rumahnya.

"Kami selalu menantikan Hari Raya setiap tahunnya," kata Tarazi, kepada DW. Sudah hampir enam tahun Tarazi tidak mendapatkan izin dari otoritas Israel untuk dapat mengunjungi saudara di kampung halamannya, di Kota Gaza.

"Siapa yang masih mau memikirkan perayaan Natal saat ini, dengan apa yang terjadi di Gaza?" ujarnya.

Biasanya saat Natal, saudaranya yang berasal dari Kota Gaza diperbolehkan untuk mendatangi Tarazi di Tepi Barat, wilayah yang diduduki Israel. Tarazi sendiri lahir di Gaza, tapi dia sudah bermukim selama berpuluh tahun di Beit Sahour, sebuah kota tetangga Betlehem. Banyak masyarakat di sini yang masih memiliki keluarga dan teman di Jalur Gaza, lantaran masih ada komunitas Kristen kecil di sana.

Untuk perayaan seperti Paskah atau Natal, biasanya otoritas Israel memberikan surat izin keluar yang diperlukan oleh kelompok Kristen Palestina di Jalur Gaza, yang telah dikuasai oleh Hamas sejak 17 tahun silam.

Perayaan Natal yang beda

Walau begitu, tidak ada kepastian surat izin tersebut akan diberikan, atau terkadang tidak semua anggota keluarga diperbolehkan untuk berangkat. Beberapa tahun terakhir, izin keluar itu menjadi terbatas akibat situasi politik. Namun, setidaknya masih ada harapan untuk saling bertemu saat momen perayaan dan menghabiskan waktu bersama.

Sekarang semuanya menjadi berbeda lagi. Perlintasan perbatasan Erez, di Israel, telah ditutup sejak serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober ke kawasan selatan Israel, hingga konflik yang terjadi setelahnya. Artinya, rute ke Tepi barat yang diduduki Isarel dan ke Yerusalem juga ikut ditutup.

Tanbahan lagi, Tarazi juga sedang berkabung lantaran saudara perempuannya tewas akibat serangan Israel pada sebuah bangunan di halaman Gereja Ortodoks Yunani Porphyrius di Kota Gaza pada Oktober 2023 silam. Menurut sebuah pernyataan dari Patriarkat Ortodoks Yunani, 18 orang tewas akibat serangan itu, banyak dari mereka yang tengah mencari perlindungan di tempat tersebut.

"Saya sendirian di sini, dan tidak tahu bagaimana menghadapinya. Pikiran saya hanya seputar apa yang terjadi di Gaza," ujar Tarazi sambil berusaha untuk tetap tenang. Dia menambahkan,  dirinya juga tak dapat menghadiri pemakaman saudaranya tersebut.

Kekhawatiran tanpa henti tentang saudara dan keluarga membuat Tarizi sibuk sepanjang siang dan malam, hal ini juga disebabkan oleh sulitnya komunikasi. "Satu-satunya yang membantu adalah berkebun, melihat bunga dan merawatnya," ungkap dia.

Tak ada perayaan Natal

Tarazi bukan satu-satunya yang merasa tidak merayakan Natal tahun 2023 ini. Di Betlehem, tempat kelahiran Yesus sendiri, juga tidak ada perayaan Natal.

Alun-alun Manger, di depan Gereja Kelahiran, yang biasanya dipadati oleh masyarakat lokal dan turis asing selama perayaan Natal, tahun ini terlihat kosong. Kota itu juga tidak memajang pohon Natal besar atau pajangan tempat kelahiran Yesus. Selain itu, dekorasi Natal dan lampu hias juga tidak terlihat.

"Tidak ada suasana gembira, tidak ada perayaan karena apa yang terjadi di Palestina, di Gaza," kata penjual ayam panggang di Jalan Star Street, tempat bersejarah yang mengarah ke Alun-alun.

"Biasanya ramai pengunjung dari seluruh dunia, dan dari berbagai macam agama, tetapi kali ini tidak ada suasana Natal sama sekali," kata penduduk Betlehem, Yara Alama. "Rasanya, Anda tidak dapat bergembira karena ada perang dan apa yang terjadi pada warga Gaza."

Natal Muram di Betlehem Akibat Konflik di Gaza

Gereja Kelahiran Yesus, yang dibangun di atas lokasi yang diyakini tempat Yesus lahir, juga kosong dan sunyi. Tidak ada antrean panjang orang yang menunggu untuk mengunjungi gua sempit di bawahnya, tempat di mana ada bintang perak yang menandai tempat tersebut suci.

Namun, Patriark Latin Yerusalem sempat mengadakan prosesi Natal ke Kota Betlehem pada Minggu (24/12) kemarin malam. Hanya saja, prosesi ini jauh lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kardinal Pierbattista Pizzaballa hanya ditemani oleh beberapa biarawan Fransiskan dan sejumlah umat.

Pizzaballa merupakan perwakilan tertinggi Gereja Katolik di Israel, Yordania, wilayah Palestina dan Siprus.

Sejatinya, sektorpariwisata menyumbang 70% volume ekonomi kota di Tepi Barat itu, yang sebagian besar bersifat musiman dan terkait dengan ziarah Natal. Pemerintah mengaku lebih dari 70 hotel di Betlehem terpaksa harus ditutup, sehingga menyebabkan ribuan orang menganggur.

Bayi Baru Lahir di Gaza Hadapi Kesulitan Besar

Dulu Covid-19, kini perang

Pastor Issa Taljieh, yang lahir di Betlehem, telah menjadi paroki gereja untuk komunitas Yahudi Ortodoks selama 12 tahun terakhir. Semasa bertugas, dia mengaku tidak pernah merasakan musim Natal yang begitu menyedihkan.

"Orang-orang berduka dan sedih melihat yang terjadi di Gaza," kata Pastor Issa Taljieh. "Ini adalah kali pertama Gereja Kelahiran, tempat di mana Yesus lahir, saya melihatnya kosong seperti ini. Bahkan, selama Covid-19 saja masih ada warga lokal yang datang dan merayakan Natal bersama kami."

Selama pandemi, turis asing tidak dapat datang ke Betlehem, dan sektor pariwisata yang menjadi tumpuan kota ini terpukul. Sejak serangan 7 Oktober, akses ke Betlehem, yang juga sudah terputus dari Yerusalem oleh tembok pemisah Israel, menjadi semakin sulit. Tentara Israel telah memasang banyak penghalang dan barikade di sejumlah akses jalan. Hal ini membuat jalanan tersebut harus dilalui dengan berjalan kaki, dan mobil hanya diperbolehkan melintas pada waktu tertentu.

(mh/pkp/as)

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!