1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Kesulitan Pasangan Sesama Jenis di Jepang untuk Adopsi Anak

7 Juni 2022

Sikap konservatif terhadap konsep keluarga dan kurangnya hak hukum bagi anggota masyarakat LGBTQ+ membuat keinginan adopsi anak menjadi suatu hal yang sulit di Jepang.

https://p.dw.com/p/4CLYX
Pendukung komunitas LGBT memeriahkan parade Tokyo Rainbow Pride 2019
Survei publik menunjukkan bahwa jumlah orang yang positif tentang masalah ini meningkatFoto: Rodrigo Reyes Marin/ZUMA Wire/picture alliance

Ai Takahashi mengatakan bahwa dia selalu ingin memiliki anak, tetapi sikap "tradisional" masyarakat Jepang terhadap keluarga dan komunitas LGBTQ+ menghalangi harapannya akan menjadi orang tua suatu hari nanti.

"Saya selalu ingin punya anak," kata Takahashi, seorang penulis berusia 40 tahun yang tinggal di Tokyo. "Saya pernah menikah dengan seorang pria dan itupun saya berpikir panjang dan keras untuk memiliki anak. Sekarang saya hidup dengan pasangan saya, seorang perempuan, dan saya memutuskan lebih baik hidup dengan seorang anak yang sudah lahir daripada melahirkannya sendiri," katanya kepada DW.

"Jepang tidak mengizinkan pasangan untuk mengadopsi anak kecuali mereka sudah menikah. Dan karena pernikahan sesama jenis tidak diakui secara hukum di Jepang, kami tidak bisa menjadi pasangan suami istri," tambahnya.

Rintangan untuk membina keluarga

Aturan tentang orang tua asuh di Jepang baru direvisi tahun 2021, memungkinkan pengasuhan sebagai pilihan bagi pasangan sesama jenis. Namun, kondisinya sangat ketat, kata Takahashi, dengan persyaratan pendapatan tahunan, ukuran area tempat tinggal anak, pembatasan jam kerja orang tua asuh, hingga kebutuhan untuk menjamin tempat di salah satu fasilitas penitipan anak.

"Saya sangat ingin mengadopsi, tetapi kenyataannya sulit dan saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Saya tidak ingin hanya 'melahirkan', tetapi jika ada anak di luar sana ... maka saya ingin tinggal bersama anak-anak itu."

Akikazu Takami dan pasangan gaynya baru-baru ini diterima sebagai orang tua asuh di Prefektur Aichi, Jepang tengah, tetapi mereka juga menghadapi perlawanan dari orang tua yang anaknya diasuh.

"Kami melamar menjadi orang tua asuh dan akhirnya kami mendapat respons positif, meski otoritas mengatakan bahwa masalah mungkin muncul," katanya.

Pejabat yang ditugaskan untuk menempatkan anak-anak dengan keluarga asuh masih berkewajiban untuk memberi tahu orang tua kandung ke mana mereka pergi, dengan banyak orang tua kandung yang tidak mempertimbangkan pasangan sesama jenis.

Penentangan dari orang tua kandung

"Bahkan ketika pusat bimbingan anak berpikir bahwa kita adalah pasangan untuk seorang anak, tampaknya banyak orang tua yang menolak," katanya.

Kumi Matsumoto, seorang juru kampanye Rainbow Family, sebuah kelompok advokasi untuk keluarga minoritas seksual yang membesarkan anak-anak, mengatakan ada sikap yang mengakar dan persepsi usang tentang sebuah keluarga.

"Saat ini di Jepang, hanya pasangan suami istri yang boleh mengadopsi anak. Orang tua asuh juga bisa mendaftar, tapi kenyataannya sangat sedikit yang benar-benar menitipkan anak. Sayangnya, minoritas seksual tidak diperlakukan sama di masyarakat Jepang,” katanya kepada DW.

"Perkawinan sesama jenis tidak diakui, dan akibatnya, mereka dikecualikan dari berbagai perlindungan hukum dan manfaat pajak sebagai pasangan dan keluarga,” tambahnya.

"Saya percaya bahwa perlakuan diskriminatif terhadap individu LGBTQ+ telah berangsur membaik selama dekade terakhir, berkat upaya berbagai organisasi dan individu LGBTQ+ untuk meningkatkan kesadaran. Namun, hak asasi manusia sosial tetap terhambat karena perlakuan diskriminatif oleh undang-undang nasional yang mendasarinya," Matsumoto menggarisbawahi.

Ketika datang ke panti asuhan yang mempertimbangkan akan mengizinkan pasangan sesama jenis untuk mengadopsi, dia berkata "mereka mungkin berprasangka dan percaya bahwa pasangan sesama jenis tidak mampu membesarkan anak asuh dengan bahagia."

Kurangnya pemahaman

"Saya kira ini karena kurangnya pemahaman dan ketidaktahuan pengurus panti asuhan. Selain itu, karena pemerintah Jepang penuh dengan konvensionalisme, saya pikir tidak ada pejabat yang memiliki keberanian atau semangat untuk berubah," menurut Matsumoto.

"Pemerintah memberikan alasan 'kurangnya pemahaman masyarakat' sebagai alasan untuk tidak mengakui pernikahan sesama jenis, meskipun survei kesadaran masyarakat menunjukkan bahwa jumlah orang yang menerima isu masalah ini meningkat, terutama di kalangan generasi muda," dia menambahkan.

"Hak pasangan sesama jenis sangat lemah di Jepang. Saya sangat frustrasi sebagai orang dalam hubungan sesama jenis karena kami tidak memiliki hak yang sama sebagai pasangan menikah. Kami ingin memiliki anak dengan cara yang sama, tapi kami tidak boleh seperti itu. Kami adalah pasangan, sama saja," tegas Ai Takahashi.

"Politisi Jepang tidak benar-benar memikirkan apa yang terbaik untuk keluarga atau anak-anak, tetapi hanya tentang posisi mereka sendiri," tambahnya. "Ini sangat menyedihkan. Saya merasa tidak ada masa depan bagi kami. Saya sangat berharap semuanya akan segera membaik."

(ha/hp)