1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Junta Myanmar Berlakukan Wajib Militer bagi Anak Muda

12 Februari 2024

Junta Myanmar memberlakukan wajib militer bagi anak muda, baik laki-laki maupun perempuan. Keputusan itu dikarenakan junta tengah berjuang untuk mengendalikan pasukan pemberontak bersenjata di berbagai wilayah.

https://p.dw.com/p/4cHYC
Hari Kemerdekaan Myanmar ke-76
Junta militer Myanmar tengah menghadapi beberapa pemberontakan dari kelompok yang menentang kudetaFoto: Aung Shine Oo/AP/picture alliance

Junta militer Myanmar memberlakukan wajib militer bagi anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, demikian laporan media pemerintah pada akhir pekan lalu. 

Semua laki-laki berusia 18 hingga 35 tahun dan perempuan berusia 18 hingga 27 tahun harus menjalani wajib militer selama dua tahun, sementara para spesialis seperti dokter yang berusia hingga 45 tahun akan dipanggil untuk menjalani wajib militer hingga tiga tahun. 

Selama keadaan darurat yang berlaku di Myanmar sejak 2021, sesaat setelah junta militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, seluruh periode wajib militer ini dapat diperpanjang hingga lima tahun, lapor media pemerintah pada hari Sabtu (10/02). 

"Tugas untuk menjaga dan membela negara tidak hanya untuk para tentara, tetapi juga untuk semua warga negara. Jadi saya ingin mengatakan kepada seluruh rakyat untuk dengan bangga mengikuti aturan wajib militer ini," kata juru bicara junta militer Myanmar, Zaw Min Tun, dalam sebuah kutipan audio. Dia menyebut langkah baru ini "penting karena situasi yang terjadi di negara kita."

Orang-orang yang menolak aturan wajib militer ini akan menghadapi hukuman penjara yang sesuai dengan masa tugas mereka di militer.

Pernyataan yang dirilis pada hari Sabtu (10/01) itu hanya memberikan rincian informasi terbatas. Namun, Kementerian Pertahanan akan segera "mengeluarkan peraturan, prosedur, perintah pengumuman, pemberitahuan, dan instruksi yang diperlukan."

Meskipun aturan wajib militer secara nominal telah ada di Myanmar sejak tahun 2010, hingga saat ini masih belum diberlakukan.

Pelatihan militer di Karenni
Beberapa kelompok pemberontak dibentuk sesaat setelah kudeta militer tahun 2021Foto: SOPA Images/Sipa USA/picture alliance

Kelompok etnis minoritas dan pejuang pro-demokrasi saling bekerja sama

Sejak perebutan kekuasaan pada tahun 2021, militer Myanmar telah menghadapi tantangan besar dalam beberapa dekade terakhir, di negara yang telah lama dikenal dengan ketidakstabilan dan pemberontakan dalam negeri.

Aliansi tiga kelompok pemberontak etnis minoritas dan pejuang pro-demokrasi yang disebut "Pasukan Pertahanan Rakyat", telah lama bergabung sejak junta Myanmar mengkudeta negara itu. Pada bulan Oktober tahun lalu, aliansi itu telah melancarkan serangan terkoordinasi terhadap Tatmadaw, sebutan untuk junta militer, yang menyebabkan kerugian besar dalam jumlah personel dan kekuasaan wilayah. 

Upaya terbaru untuk menengahi gencatan senjata ternyata tidak berhasil.

Terjadi serangan balasan yang bermula di negara bagian Shan, yang hampir tidak pernah dikuasai oleh pemerintah pusat Myanmar selama beberapa dekade, yang merupakan pintu gerbang timur Myanmar menuju negara tetangga, Cina.

Pemerintah Myanmar di pengasingan mengatakan bahwa kebijakan pertahanan negara di masa depan harus disatukan sehingga akan lebih baik posisinya bagi para pejuang etnis minoritas yang pernah menuntut kemerdekaan atau otonomi bagi daerah mereka.

Tatmadaw justru sedang berjuang untuk merekrut tentara dan dikabarkan telah memaksa beberapa personel nontempur untuk berada di garis depan.

Personel Penjaga Perbatasan Myanmar di perbatasan Bangladesh
Personel Penjaga Perbatasan (BGP) Myanmar di negara bagian Rakhine melarikan diri melintasi perbatasan Bangladesh setelah kalah dalam pertempuranFoto: Zabed Hasnain Chowdhury/NurPhoto/picture alliance

Junta tarik mundur pasukan di perbatasan dengan Bangladesh

Kesulitan yang dihadapi oleh junta militer di medan perang menjadi sangat terlihat di perbatasan Myanmar dengan Bangladesh pada awal pekan ini. 

Pasukan pemberontak mengambil alih sebuah pos penjagaan perbatasan, memaksa lebih dari 300 personel militer dan keamanan yang banyak di antaranya terluka, harus melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh untuk mencari perlindungan. 

Ini merupakan yang pertama kali bagi pasukan pemerintah Myanmar untuk melarikan diri dengan melintasi perbatasan seperti itu, selama konflik berlangsung.

Dalam beberapa tahun terakhir, Muslim Rohingya yang merupakan sebagian besar penduduk negara bagian Rakhine di negara Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, yang telah melakukan segala upaya untuk melarikan diri dengan melintasi perbatasan itu demi menghindar dari pasukan keamanan Myanmar.

Di tengah bentrokan di perbatasan dengan Bangladesh itu, India juga mengumumkan pada tanggal 8 Februari bahwa pihaknya telah membatalkan perjanjian pergerakan bebas dengan Myanmar.

Langkah itu dilakukan India "untuk memastikan keamanan internal negara dan untuk mempertahankan struktur demografis Negara Bagian Timur Laut India, yang berbatasan dengan Myanmar," kata Menteri Dalam Negeri Amit Shah di media sosialnya.

Shah menambahkan bahwa meskipun proses pembatalan perjanjian ini akan memakan waktu, kementeriannya juga telah merekomendasikan penangguhan perjanjian ini untuk sementara waktu.

kp/ha (AFP, AP, Reuters)